Penerjemahan aestetik-peutik adalah suatu tipe penerjemahan yang lebih menekankan pada bagaimana kesan, emosi, dan perasaan yang ada dalam bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran (Brislin, 1976:3).
Tipe penerjemahan aestetik-peutik ini juga disebut sebagai penerjemahan sastra, "penerjemahan sastra adalah penerjemahan karya sastra seperti puisi, drama, dan lain sebagainya yang menekankan konotasi emosi dan gaya bahasa" (Kridalaksana, 1984:149). Penerjemahan aestetik-peutik ini sangat sulit dilakukan karena seorang penerjemah, di samping harus mempertahankan segi keindahan bentuk bahasanya, harus pula memperhatikan setiap pesan atau isinya (Soemarno, 1989:8).
|
Penerjemahan Karya Sastra
(sumber : lintangluku.com) |
Menurut Zuhridin (2003:153) seorang penerjemah karya sastra harus membekali diri dengan berbagai persyaratan, yaitu :
- Memahami bahasa sumber hampir sempurna.
- Menguasai dan mampu memahami bahasa sasaran dengan baik, benar dan efektif.
- Mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan.
- Mempunyai kepekaan terhadap karya sastra.
- Memiliki keluwesan kognitf sosiokultural.
- Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
Pada waktu penerjemah menghadapi karya sastra yang akan diterjemahkan, mereka harus menangkap ungkapan yang ditulis oleh penulis asli sebagai sastrawan. Para sastrawan mempunyai ciri gaya bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Dalam menghadapi gaya kesastraan (literary style) tersebut seorang penerjemah seharusnya lebih berhati-hati dalam menerjemahkan agar gaya penulis asli dapat dibaca oleh pembaca dalam karya terjemahannya juga. Hal ini dimaksudkan agar pesan, kesan, pelajaran, dan pengaruh khusus yang diharapkan oleh penulis asli dapat ditangkap penerjemah kemudian dituangkan dalam bahasa sasaran.
Penerjemah diharapkan mampu menuangkan pesan, kesan, pelajaran, dan pengaruh tersebut dalam karya terjemahan sehingga dapat memberikan suatu efek yang sama kepada pembacanya seperti karya asli memberikan efek kepada pembacanya. Hal ini menuntut penerjemah memiliki tingkat pemahaman yang tiinggi terhadap karya sastra yang akan diterjemahkannya, latar belakang penulis, dan memahami gaya penulisan penulis aslinya.
Selain itu, masih terdapat hal yang penting yang sering menjadi kendala penerjemah adalah masalah budaya. Budaya yang dimaksud menyangkut seluruh elemen budaya yang terdapat dalam dua komunitas pengguna bahasa, yakni budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Elemen budaya yang dimaksud adalah nama, sejarah, agama, kepercayaan, tradisi, kebiasaan, pakaian, struktur sosial, kehidupan sehari-hari, hubungan sosial, makanan, dan bahasa (Karamanian, 2001:1-3; Thriveni, 2002:1-6). Masing-masing elemen budaya yang terdapat dalam suatu komunitas pengguna bahasa mempunyai kekhususan konsep masing-masing yang belum tentu mempunyai padanan makna, bentuk, dan konsep yang sama, bahkan sangat berbeda atau bertentangan sama sekali.
Seorang penerjemah karya sastra haruslah orang yang mempunyai ketajaman rasa dalam karya yang akan diterjemahkan. Terjemahan karya sastra merupakan hasil tulisan kembali imajinasi seni asli ke dalam bahasa sasaran sehingga pembacanya mestinya dapat terinspirasi, tergerak dan terhibur secara seni sama dengan pembaca asli ketika membaca karya-karya tersebut dalam bahasa sumber. Oleh karena itu, penerjemahan karya sastra merupakan aktivitas yang kreatif, estetik namun juga sulit dilakukan.
SUMBER REFERENSI :
Sudarno, A.P. 2011. Penerjemahan Buku Teori dan Aplikasi. Surakarta : UNS Press
Artikel Terkait "Penerjemahan Aestetik-Peutik" :