Di lahan milik penduduk desa telah lama melaksanakan praktek wanatani pada lahan pekarangan, tegalan dan kebun campur. Hal ini terlihat di daerah pedesaan di Jawa (Fandeli, 1990).
Antara struktur tegakan dalam kebun campur dan fungsinya ada hubungan yang erat, Struktur tegakan pada suatu lahan akan berhubungan dengan fungsinya menurut persepsi pemiliknya. Namun dalam mengatur struktur tegakan dalam suatu lahan keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor fisik (Karyono, 1980; Brook, 1993).
Fungsi suatu lahan dengan keanekaragaman jenis yang tinggi, memberikan manfaat yang besar bagi pemiliknya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Suatu lahan dengan sistem pengusahaan wanatani secara garis besar dapat digolongkan dalam tiga fungsi, yaitu : fungsi produksi baik subsisten maupun komersial, fungsi sosial, serta fungsi lingkungan antara lain sebagai sumber plasma nutfah dan perlindungan tanah (Wiersum, 1991). Secara rinci kebun campur yang diusahakan sebagai wanatani mempunyai fungsi sebagai berikut :
Karyono (1980), Abedin dan Quddus (1991) mengatakan bahwa fungsi produksi wanatani dapat dibedakan dalam dua aspek yaitu untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan komersial. Kebutuhan subsisten diperoleh dari produksi lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi pemiliknya. Produksi komersial sisa dari yang dikonsumsi dapat dijual untuk tambahan penghasilan. Produksi subsisten dari kebun campur, umumnya didapat dari tanaman penghasil pangan, obat-obatan, sayuran, bumbu masak, pakan hewan, dan kayu bakar. Produksi komersial sebagian besar didapat dari tanaman yang dipergunakan sebagai bahan bangunan, buah-buahan dan jenis-jenis komoditas perdagangan seperti kelapa, cengkih, kopi, dll.
Lahan kebun campur sebagai penghasil komoditas untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup petani sangat dirasakan terutama di daerah persawahan (Fandeli, 1992). Meskipun kebun campur mempunyai fungsi produksi yang penting, namun demikian, di Kabupaten Lombok timur lahan kebun campur lebih sempit dibanding lahan sawah (Anonim, 1989), karena lahan kebun campur banyak dikonversi menjadi sawah. Adanya konversi ini, dapat meningkatkan produksi beras, tetapi produksi kayu, buah dan hasil dari tanaman hortikultura berkurang. Hasil dari kebun campur dapat dipungut sewaktu-waktu, sedangkan sawah hanya menghasilkan pada waktu tertentu. Adanya hasil yang kontinyu dari kebun campur merupakan keuntungan yang sangat berarti bagi petani kecil dengan tingkat pendapatan rendah.
Di daerah lain dalam kabupaten ini, sebagian kebun campur berada di lahan piasan (marginal). Meskipun demikian kebun campur di lahan marginal ini masih mempunyai peranan dapat meningkatkan ekonomi keluarga yang sangat menonjol. Pada umumnya lahan kebun campur yang diusahakan sebagai wanatani dapat dipungut hasilnya sepanjang tahun yaitu dari tanaman semusim dan tanaman tahunan (Sumitro, 1991).
FUNGSI SOSIAL
Lahan kebun campur yang dikelola berbentuk wanatani mempunyai fungsi sosial. Dari lahan ini dapat dihasilkan banyak bahan kebutuhan bagi masyarakat. Di samping itu lahan kebun campur dipergunakan sebagai tempat untuk pendidikan nonformal, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat, misalnya daun kelapa muda atau janur, biasanya dapat diambil dari kebun. Pada lahan ini pula anak-anak belajar mengenal alam lingkungan (Suhardi, 1990).
FUNGSI LINGKUNGAN
Kebun campur merupakan bentuk pengusahaan lahan yang polikultur. Bentuk polikultur ini akan menjadikan ekosistem lebih stabil, lebih ramah lingkungan dan produktivitas lebih mantap untuk jangka panjang (Simon, 1977). Menurut Brewer (1988), semakin tinggi keanekaragaman jenis dalam suatu ekosistem alam maupun buatan akan semakin memantapkan ekosistem. Ekosistem kebun campur dengan keanekaragaman jenis yang tinggi, yang terbentuk secara alami maupun buatan, merupakan habitat tempat tinggal satwa dan berbagai sumber plasma nutfah.
Keanekaragaman jenis dan umur tanaman yang tinggi pada kebun campur memungkinkan terbentuknya tajuk berlapis-lapis yang mengisi ruang dari bawah sampai ke atas. Selanjutnya menurut Wiersum (1991), adanya campuran tanaman musiman dan tahunan yang mengisi ruang berlapis-lapis memberikan perlindungan yang efektif terhadap proses erosi yang merugikan. Susunan tajuk yang demikian dapat melindungi tanah dari proses erosi akibat hempasan langsung air hujan, di samping mengoptimalkan pemanfaatan sinar matahari dalam proses pembentukan bahan organik (Karyono, 1980; Mac Dicken, 1990).
Mengingat fungsi penting kebun campur untuk fungsi sosial maupun pelindung lingkungan, maka kehadiran kebun campur sangat diperlukan, Dari aspek sosial kebun campur menyediakan material, walaupun yang digunakan hanya dalam jumlah sedikit, seperti pada upacara adat atau tradisi, misalnya daun janur dan beringin untuk pesta perkawinan. Dari segi lingkungan kebun campur menyediakan habitat bagi kehidupan satwa, pelindung tata air, dan dipertahankan sebagai sumber plasma nutfah.
Fandeli, C. dan Muhammad. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press